Arsip Tag: Yusuf al-Qaradhawi

[Ikhwanul-Muslimin] – Hukum Jabat Tangan Pria dan Wanita Non-Mahram ala Yusuf al-Qaradawi

Dr. Yusuf al-Qaradhawi telah mengeluarkan satu fatwa hukum tentang sentuhan orang laki-laki terhadap wanita, yang ditulis dalam beberapa lembaran (11 lembar). Dia berkeliling dan berputar-putar ke kanan dan ke kiri dengan harapan mendapatkan jalan untuk menghalalkan hal tersebut yang hukumnya telah benar-benar jelas dari sabda Rasulullah yang benar-benar gamblang:

“Lebih baik ditusuk kepala seseorang dengan jarum dari besi daripada menyentuh wanita yang tidak dihalalkan baginya.” [HR. Ath-Thabrani dan al-Baihaqi. Dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah, 226.]

Berikut ini sedikit petikan dari fatwa yang berputar-putar dan bolak-balik yang dikeluarkan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, mudah-mudahan Allah memberikan petunjuk kepadanya.

Mengenai hukum ini, Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengemukakan (dalam Fatawa Mu’ashirah jilid 2 halaman 293 dan setelahnya): 

“Pada hakikatnya, saya telah mencari dalil yang memuaskan yang telah dinashkan. Namun, saya belum mendapatkan apa yang saya dambakan itu.”

Dia (Dr. Yusuf al-Qaradhawi) juga mengatakan:

“Dalil yang paling kuat di sini yang tidak membolehkan bersentuhan dengan lawan jenis adalah saddudz-dzari’ah (menutup sarana menuju fitnah).”

Kemudian, Dr. Yusuf al-Qaradhawi berusaha melemahkan hadits shahih yang telah disebutkan sebelumnya. Setelah putus asa, dia mengatakan:

“Sesungguhnya, pengharaman itu tidak bisa dilakukan kecuali dengan dalil qath’i yang tidak diragukan lagi, seperti al-Qur’anul-Karim, serta hadits-hadits mutawatir, atau semisalnya yang masyhur.”

Setelah mau menerima hadits, Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan:

“Anggaplah kita menerima hadits shahih tersebut, atau kemungkinan melakukan pengharaman dari dalil semisalnya, ternyata saya dapati bahwa indikasi hadits terhadap obyek hukumnya sama sekali tidak jelas.”

Setelah itu, Dr. Yusuf al-qaradhawi membawa kata yamassu yang terdapat dalam hadits itu pada pengertian jima’ (hubungan badan).

Selanjutnya, dengan menggunakan dalil dari beberapa hadits, dia membolehkan sentuhan orang laki-laki dengan wanita asing (bukan mahram), padahal tidak terdapat dalalah (indikasi) padanya. Mengenai hal itu telah dijawab oleh para ulama.

Pada bagian penutup, Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan: 

“Yang dapat diterima oleh hati dari berbagai riwayat ini, bahwa sekedar bersentuhan bukanlah suatu hal yang haram.”

Dapat penulis (Sulaiman al-Khurasyi) katakan bahwa MahaBenar Allah Ta’ala yang berfirman:

“Dan janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.” [Qs. An-Nahl: 116.]

Dengan demikian, Dr. Yusuf al-Qaradhawi telah berani mengadakan kebohongan terhadap Allah, menyalahi hadits shahih, seraya mengikuti hawa nafsunya di hadapan tekanan realitas, dan berusaha menampakkan diri dengan penampilan seorang ahli fiqih yang membawa pencerahan dengan mengorbankan nash-nash syari’at.

Mengomentari hadits tersebut, Syaikh al-Albani mengatakan: 

“Di dalam hadits tersebut terdapat ancaman yang keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tidak dihalalkan baginya (= bukan mahramnya). Menunjukkan diharamkannya menyalami wanita yang bukan mahram, karena tidak diragukan lagi hal itu termasuk makna yang dikandung oleh kata bersentuhan. 

Parahnya, kaum muslimin sekarang ini telah melakukan hal tersebut, bahkan di antara mereka terdapat ulama, andaikan dalam hati mereka menolak hal itu, niscaya sedikit lebih baik, tetapi mereka justru membolehkannya dengan segala cara dan penakwilan. 

Telah sampai kepada kami, bahwasanya ada sosok pribadi yang terhormat di Universitas al-Azhar telah terlihat oleh beberapa orang di antara mereka sedang menyalami wanita. Hanya kepada Allah-lah tempat mengadu dari meriahnya Islam. 

Bahkan, sebagian kelompok Islam berpendapat dibolehkan bersalaman dengan wanita. Kelompok-kelompok itu mengharuskan setiap anggotanya untuk mengadopsi hal tersebut. Dalam hal ini, mereka menggunakan hujjah yang tidak tepat dengan tidak menganggap hadits tersebut dan juga hadits-hadits yang lain yang dengan jelas tidak mensyari’atkan salaman tersebut.” [Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah (1/396).]

Dapat penulis (Sulaiman al-Khurasyi) katakan:

“Perlu anda ketahui, betapa (terjadi) pertentangan dan ketidak-stabilan Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam fatwa-fatwanya. Berikut ini di antara fatwa yang dikeluarkannya dalam bukunya yang lain, yang mana fatwa tersebut bertolak belakang dengan fatwa sebelumnya. Perhatikanlah, bagaimana bisa dia menghalalkan di suatu tempat dan mengharamkannya di tempat yang lain, sesuai dengan kehendak hawa nafsunya.

Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan (dalam Fatawa al-Mu’ashirah lil-Mar`ah wal-Usrah al-Muslimah hal.14):

“Adapun kepergian wanita kepada laki-laki asing untuk meriasnya, maka sudah pasti haram. Sebab, selain suami dan mahram tidak boleh menyentuh tubuh wanita muslimah, dan bagi wanita tidak boleh memberikan kesempatan kepada laki-laki asing untuk melakukan hal tersebut. Di dalam hadits telah disebutkan:

“Lebih baik kepala seseorang di antara kalian ditusuk dengan jarum dari besi daripada dia menyentuh wanita yang tidak dihalalkan baginya.” Hadits di atas diriwayatkan oleh ath-Thabrani. Rijal hadits ini tsiqah, yaitu rijal yang shahih, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Mundziri, juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi….”

Dapat penulis (Sulaiman al-Khurasyi) katakan:

“Lucunya, dalam fatwa-fatwa tersebut, Dr. Yusuf al-Qaradhawi telah melandasinya dengan hadits yang mana dia telah berusaha menolak dan melemahkannya. Kontradiksi pendapat yang terjadi pada Doktor ini adalah akibat (/hukuman) atas penolakannya terhadap as-Sunnah dan upayanya untuk menggugurkannya. Mudah-mudahan Allah melindungi kita semua.”

Lihat fatwa al-Qaradawi: 

  1. http://media.isnet.org/kmi/islam/Qardhawi/Kontemporer/Jabat1.html
  2. http://media.isnet.org/kmi/islam/Qardhawi/Kontemporer/Jabat2.html
  3. http://media.isnet.org/kmi/islam/Qardhawi/Kontemporer/Jabat3.html

[Ikhwanul-Muslimin] – Inilah “Tokoh Mujaddid” ala Yusuf al-Qaradawi

Kata Yusuf al-Qaradawi:

Sesungguhnya, terapi satu-satunya yang mujarab atas kelemahan, perpecahan dan kemunduran kaum muslimin adalah kembali kepada Islam yang benar, sebagaimana yang diserukan oleh kaum pembaharu orisinil, seperti misalnya: Jamaluddin al-Afghani, al-Kawakibi, Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal, Hasan al-Banna, Shadiq ar-Rafi’i ,’Abbas al-‘Aqqad, dan lain-lainnya dari kalangan pemikir dan penyeru perbaikan. [Min Ajli Shahwatin Raasyidatin, hal. 101.]

Syaikh Sulaiman al-Khurasyi menyatakan:

Mereka itu:

  • Jamaluddin al-Afghani seorang Syi’ah Rafidhah. 
  • Muhammad ‘Abduh penganut Maturidiyyah. 
  • Rasyid Ridha, yang bersikap ragu.
  • Iqbal sang Sufi.
  • Hasan al-Banna, tokoh perkumpulan (berbagai kalangan) yang mufawwidh. 
  • Ar-Rafi’i, seorang sastrawan. 
  • Dan al-‘Aqqad yang menyimpang dari Islam.

[Ikhwanul Muslimin] – Sayyid Quthb, Bapak Terorisme Kontemporer?

Dr. Yusuf al-Qaradhawi, dengan katanya:
ﻓﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﺮﺣﻠﺔ ﻇﻬﺮﺕ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﺸﻬﻴﺪ ﺳﻴﺪ ﻗﻄﺐ، ﺍﻟﺘﻲ ﺗﻤﺜﻞ ﺍﻟﻤﺮﺣﻠﺔ ﺍﻷﺧﻴﺮﺓ ﻣﻦ ﺗﻜﻔﻴﺮﻩ، ﻭﺍﻟﺘﻲ ﺗﻨﻀﺢ ﺑﺘﻜﻔﻴﺮ ﺍﻟﻤﺠﺘﻤﻊ، ﻭﻗﻄﻊ ﺍﻟﻌﻼﻗﺔ ﻣﻊ ﺍﻵﺧﺮﻳﻦ، ﻭﺇﻋﻼﻥ ﺍﻟﺠﻬﺎﺩ ﺍﻟﻬﺠﻮﻣﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻛﺎﻓﺔ

Pada ketika ini, telah muncul buku-buku asy-Syahid Sayyid Qutub yang menggambarkan fasa terakhir dari ideologi takfirnya. Yaitu pengkafiran masyarakat (Islam), pengasingan/pemisahan diri, dan deklarasi (pengistiharan) jihad untuk memerangi seluruh umat manusia. [Aulawiyyat al-Harakah al-Islamiyyah, 110].

Farid ‘Abdul Kholiq (bekas mursyid Ikhwanul Muslimin):
ﻭﻳﻘﻮﻝ ﻓﺮﻳﺪ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺨﺎﻟﻖ : )) ﺃﻟﻤﻌﻨﺎ ﻓﻴﻤﺎ ﺳﺒﻖ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻧﺸﺄﺓ ﻓﻜﺮ ﺍﻟﺘﻜﻔﻴﺮ ﺑﺪﺃﺕ ﻳﺒﻦ ﺷﺒﺎﺏ ﺑﻌﺾ ﺍﻹﺧﻮﺍﻥ ﻓﻲ ﺳﺠﻦ ﺍﻟﻘﻨﺎﻃﺮ ﻓﻲ ﺃﻭﺍﺧﺮ ﺍﻟﺨﻤﺴﻴﻨﺎﺕ ﻭﺃﻭﺍﺋﻞ ﺍﻟﺴّﺘّﻴﻨﺎﺕ، ﻭﺃﻧﻬﻢ ﺗﺄﺛﺮﻭﺍ ﺑﻔﻜﺮ ﺍﻟﺸﻬﻴﺪ ﺳﻴﺪ ﻗﻄﺐ ﻭﻛﺘﺎﺑﺎﺗﻪ، ﻭﺃﺧﺬﻭﺍ ﻣﻨﻬﺎ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﺠﺘﻤﻊ ﻓﻲ ﺟﺎﻫﻠﻴﺔ، ﻭﺃﻧﻪ ﻗﺪ ﻛﻔﺮ ﺣﻜﺎﻣﻪ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺗﻨﻜﺮﻭﺍ ﻟﺤﺎﻛﻤﻴﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻌﺪﻡ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺑﻤﺎ ﺃﻧﺰﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻣﺤﻜﻮﻣﻮﻩ؛ ﺇﺫ ﺭﺿﻮﺍ ﺑﺬﻟﻚ ))

Telah kami bentangkan di depan, bahwa kemunculan ideologi takfir ini, dimulai di tengah-tengah para pemuda (aktivis) Ikhwanul Muslimin, dalam penjara al-Qanathir (di Kairo, Mesir), pada akhir tahun lima puluhan (1950an) dan awal tahun enam puluhan (1960an). Sebagai kesan daripada pemikiran asy-Syahid? Sayyid Qutub dan tulisan-tulisannya. Dari pemikiran dan tulisan inilah, mereka mengambil kesimpulan bahawa masyarakat sekarang ini berada dalam keadaan jahiliyyah dan pemerintah umat Islam telah kafir, kerana dianggap tidak mengakui hukum Allah, disebabkan mereka tidak menerapkan hukum-Nya. Begitulah pula para rakyat dianggap telah kafir, kerana mereka turut meredhai perkara tersebut. [al-Ikhwan al-Muslimun fii Mizan al-Haq, 115].

Berkata Salim al-Bahnasawi:
ﻭﻳﻘﻮﻝ ﺳﺎﻟﻢ ﺍﻟﺒﻬﻨﺴﺎﻭﻱ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ : ‏( ﺍﻟﺤﻜﻢ ﻭﻗﻀﻴﺔ ﺗﻜﻔﻴﺮ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ‏) : )) ﻭﻟﻘﺪ ﻧﻘﻞ ﺳﻴﺪ ﻗﻄﺐ ﺑﻌﺾ ﺃﻗﻮﺍﻝ ﺍﻟﻤﻮﺩﻭﺩﻱ ﻭﺃﺑﺮﺯﻫﺎ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﺎﺗﻪ، ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻷﺧﺺ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﻣﻦ ﺍﻟﻈﻼﻝ، ﺛﻢ ﺟﺎﺀ ﻗﻮﻡ ﻭﺭﺗﺒﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻗﺪ ﻛﻔﺮﻭﺍ؛ ﻷﻧﻬﻢ ﻳﻨﻄﻘﻮﻥ ﺑﺸﻬﺎﺩﺓ ﻻ ﻳﻌﺮﻓﻮﻥ ﻣﻌﻨﺎﻫﺎ، ﻭﻻ ﻳﻌﻤﻠﻮﻥ ﺑﻤﻀﻤﻮﻧﻬﺎ، ﻭﻣﻬﻤﺎ ﺻﻠّﻮﺍ ﻭﺻﺎﻣﻮﺍ ﻭﺣﺠّﻮﺍ ﻭﺯﻋﻤﻮﺍ ﺃﻧﻬﻢ ﻣﺴﻠﻤﻮﻥ، ﻓﻠﻦ ﻳﻐﻴّﺮ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﻛﻔﺮﻫﻢ ﺷﻴﺌﺎً ))

Sayyid Qutub telah menukil perkataan-perkataan al-Maududi dan membentangkannya ke dalam buku-buku beliau, terutamanya dalam jilid ketujuh dari adz-Dzilal. Kemudian mencullah sekelompok orang yang mengambil kesimpulan dari keterangan-keterangan tersebut dan yang lainnya bahwa umat Islam telah kafir. Ini adalah karena mereka (umat Islam) mengucapkan kalimat syahadah, namun tidak mengetahui maknanya serta tidak mengamalkan kandungannya. Walaupun mereka solat, puasa, berhaji, dan mengaku sebagai muslim. Perkara tersebut sama sekali tidak dapat mengubah status kekafiran mereka. [al-Hukm wa Qadhiyyah Takfir al-Muslim, 50].

Ali Jariisyah pula berkata:
ﻭﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻧﺸﻘﺖ ﻣﺠﻤﻮﻋﺔ ﻋﻠﻰ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﺇﺳﻼﻣﻴﺔ ﻛﺒﻴﺮﺓ ﺇﺑﺎﻥ ﻭﺟﻮﺩﻫﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﺠﻮﻥ، ﻭﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻟﺠﺄﺕ ﺗﻠﻚ ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻋﺔ ﺇﻟﻰ ﺗﻜﻔﻴﺮ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﺍﻟﻜﺒﻴﺮﺓ؛ ﻷﻧﻬﺎ ﻻ ﺗﺰﺍﻝ ﻋﻠﻰ ﺭﺃﻳﻬﺎ ﻓﻲ ﺗﻜﻔﻴﺮ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭﺃﻋﻮﺍﻥ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﺛﻢ ﺍﻟﻤﺠﺘﻤﻊ ﻛﻠﻪ، ﺛﻢ ﺍﻧﺸﻘﺖ ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻋﺔ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭﺓ ﺇﻟﻰ ﻣﺠﻤﻮﻋﺎﺕ ﻛﺜﻴﺮﺓ ﻛﻞّ ﻣﻨﻬﺎ ﻳﻜﻔّﺮ ﺍﻵﺧﺮ

Ketika ini, sekelompok orang yang memisahkan diri dari Jama’ah Islamiyah yang asal (yang besar/induk asal), ketika meringkuknya mereka di penjara. Bersamaan dengan itu, mereka mengkafirkan Jama’ah yang asal, disebabkan mereka tetap dengan pendiriannya bahwa pemerintah, para kaki tangannya, dan seluruh rakyat dianggap telah kafir. Kemudian serpihan kelompok tersebut berpecah lagi menjadi kelompok-kelompok yang lain, yang saling mengkafirkan di antara satu dengan yang lain. [al-Ittijahat al-Fikriyyah al-Mu’ashirah, 279].

[Zakat] – Hukum Zakat Gaji Profesi Bulanan ala Yusuf al-Qaradhawi

Kata Syaikh al-Albani rahimahullah:
ﺍﻟﻘﺮﺿﺎﻭﻱ ﺩﺭﺍﺳﺘﻪ ﺃﺯﻫﺮﻳﺔ، ﻭﻟﻴﺴﺖ ﺩﺭﺍﺳﺔ ﻣﻨﻬﺠﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨَّﺔ، ﻭﻫﻮ ﻳﻔﺘﻲ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﻔﺘﺎﻭﻯ ﺗُﺨﺎﻟﻒ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ، ﻭﻟﻪ ﻓﻠﺴﻔﺔ ﺧﻄﻴﺮﺓ ﺟﺪﺍً : ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﻣﺤﺮﻣﺎً ﻓﻲ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻳﺘﺨﻠﺺ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ ﺑﻘﻮﻟﻪ : ‏( ﻟﻴﺲ ﻫﻨﺎﻙ ﻧﺺ ﻗﺎﻃﻊ ﻟﻠﺘﺤﺮﻳﻢ ‏) ، ﻓﻠﺬﻟﻚ ﺃﺑﺎﺡ ﺍﻟﻐﻨﺎﺀ ﻭﺃﺑﺎﺡ ﻟﺬﻟﻚ ﺍﻹﻧﺠﻠﻴﺰﻱ ﺍﻟﺬﻱ ﻛﺎﻥ ﺃﺳﻠﻢ ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﻛﺒﺎﺭ ﻣﻐﻨﻴﻦ ﺑﺮﻳﻄﺎﻧﻴﻴﻦ ﺃﻥ ﻳﻈّﻞ ﻓﻲ ﻣﻬﻨﺘﻪ ﻭﺃﻥ ﻳﺄﻛﻞ ﻣﻦ ﻛﺴﺒﻪ، ﻭﺍﺩﻋﻰ ﺍﻟﻘﺮﺿﺎﻭﻱ ﺑﺄﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻫﻨﺎﻙ ﻧﺺّ ﻗﺎﻃﻊ ﻟﺘﺤﺮﻳﻢ ﺍﻟﻐﻨﺎﺀ ﺃﻭ ﺁﻻﺕ ﺍﻟﻄﺮﺏ، ﻭﻫﺬﺍ ﺧﻼﻑ ﺇﺟﻤﺎﻉ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺃﻥ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ﻻ ﻳُﺸﺘﺮﻁ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﻨّﺺ ﺍﻟﻘﺎﻃﻊ، ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﻢ – ﻭﻣﻨﻬﻢ ﺍﻟﻘﺮﺿﺎﻭﻱ ﻧﻔﺴﻪ – ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻷﺩﻟﺔ : ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨّﺔ ﻭﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﻭﺍﻟﻘﻴﺎﺱ، ﻭﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ﻟﻴﺲ ﺩﻟﻴﻼً ﻗﺎﻃﻌﺎً ﻷﻧﻪ ﺇﺟﺘﻬﺎﺩ، ﻭﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ﻣﻌﺮﺽ ﻟﻠﺨﻄﺄ ﻭﺍﻟﺼﻮﺍﺏ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ
ﻟﻜﻨﻪ ﺟﺎﺀ ﺑﻬﺬﻩ ﺍﻟﻨﻐﻤﺔ : ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻮﺟﺪ ﺩﻟﻴﻞ ﻗﺎﻃﻊ، ﻟﻜﻲ ﻳﺘﺨﻠﺺ ﻭﻳﺘﺤﻠّﻞ ﻣﻦ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ

“Al-Qaradhawi ini pengajiannya mengikuti metode al-Azhar. Pengajiannya bukan mengikuti metodologi al-Qur’an dan as-Sunnah. Banyak fatwanya bertentangan dengan syara’. Terdapat satu kaidah yang sangat berbahaya yang dia gunakan:
Sekiranya sesuatu perkara itu diharamkan syara’, dia akan mengatakan bahwa:
tiada nash muktamad (nash qath’i) yang mengharamkannya“.
Ini menyebabkan dia menghalalkan nyanyian dan mengharuskan kepada si penyanyi Inggris terkenal di England yang memeluk Islam supaya meneruskan kerja menyanyinya serta makan dari hasilnya.
Al-Qaradhawi menyatakan bahwa tidak ada nash yang muktamad yang mengharamkan nyanyian dan alat musik. Ini berbeda dengan apa yang disepakati (ijma’) oleh para ulama Islam bahwa hukum-hakam syara’ tidak perlu kepada nash yang muktamad.
Buktinya adalah mereka termasuk al-Qaradhawi sendiri berpegang kepada al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, dan qiyas. Qiyas bukan dalil yang muktamad karena ia adalah ijtihad dan ijtihad boleh jadi salah atau benar, seperti yang dijelaskan di dalam hadis sahih.
Tetapi dia menyatakan ini bahwa tidak ada dalil yang muktamad untuk mengelak daripada hukum haram serta melepaskan diri dari sekian banyak hukum syara’.”


Lalu ketika Syaikh al-Albani ditanya tentang al-Qaradhawi yang mewajibkan zakat terhadap mereka yang menerima gaji secara bulanan, beliau rahimahullah mengatakan:
ﺍﺻﺮﻑ ﻧﻈﺮﻙ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﺮﺿﺎﻭﻱ ﻭﺍﻗﺮﺿﻪ ﻗﺮﺿﺎً، ﻫﺬﻩ ﺿﺪ ﻣﺎ ﻗﻠﻨﺎﻩ ﺁﻧﻔﺎً , ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀﺕ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ ﻳﻘﻮﻝ ﻟﻴﺲ ﻓﻴﻬﺎ ﻧﺺّ ﻗﺎﻃﻊ، ﻫﻨﺎ ﻻ ﻧﺺ ﻻ ﻗﺎﻃﻊ ﻭﻻ ﻇﻨﻲ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻫﻮ ﻣﺠﺮﺩ ﺍﻟﺮﺃﻱ، ﺍﻟﻨﺼﻮﺹ ﺃﻥ ﺃﻱ ﻣﺎﻝ ﻻ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺯﻛﺎﺓ ﺇﻻ ﺑﺸﺮﻃﻴﻦ : ﺇﺫﺍ ﺣﺎﻝ ﺍﻟﺤﻮﻝ ﻭﺑﻠﻎ ﺍﻟﻨﺼﺎﺏ .
ﻓﻬﻮ ﻳﺠﺘﻬﺪ ﻭﻳﻘﻮﻝ : ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﻣﺎﻝ ﺍﻟﻤﻮﻇﻒ ﺍﻟﺸﻬﺮﻱ ﺃﻥ ﻳُﺨﺮﺝ ﺯﻛﺎﺗﻪ، ﻣﺎ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ، ﻭﺿﻊ ﻗﺎﻋﺪﺓ، ﻭﻫﻲ ﻣﺮﺍﺩ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﺍﻟﻔﻘﺮﺍﺀ، ﺃﻱ ﻣﺮﺍﻋﺎﺓ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﺍﻟﻔﻘﺮﺍﺀ، ﻫﺬﻩ ﻟﻴﺴﺖ ﻗﺎﻋﺪﺓ ﺷﺮﻋﻴﺔ، ﺑﻞ ﻫﻲ ﻗﺎﻋﺪﺓ ﺷﻴﻮﻋﻴﺔ ﻷﻥ ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ : ﻣﺎ ﻭُﺟِﺪَ ﺷﻴﻮﻋﻴﺔ ﺇﻻ ﻟﺼﺎﻟﺢ ﺍﻟﻔﻘﺮﺍﺀ ﺿﺪ ﺍﻷﻏﻨﻴﺎﺀ، ﺃﻣﺎ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻓﻜﺎﻥ ﺑَﻴﻦَ ﺫﻟﻚ ﻗِﻮﺍﻣًﺎ ﻓﻬﻮ ﻳﺮﺍﻋﻲ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﺍﻟﻔﺮﻳﻘﻴﻦ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﺍﻟﻔﻘﺮﺍﺀ ﻭﻣﺼﻠﺤﺔ ﺍﻷﻏﻨﻴﺎﺀ

“Palingkanlah pandanganmu daripada al-Qaradhawi dan tinggalkanlah dia… ini berbeda dengan apa yang kita ucapkan tadi. Sekiranya ada pengharaman dia berkata:
“tidak ada nash yang muktamad”.
Adapun di sini:
– tidak ada nash yang muktamad,
– maupun yang tidak muktamad.
Dia hanya pendapat akal semata-mata. Nash-nash secara jelas menyatakan bahwa tidak wajib zakat kecuali dengan dua syarat:
– cukup haul (tempo setahun),
– dan cukup nishaab (ukuran-nya).
Tetapi dia secara ijtihad menyatakan bahawa diwajibkan zakat ke atas mereka yang menerima gaji secara bulanan. Apa dalil-nya?
Dia meletakkan kaedah: “untuk menjaga maslahat orang miskin”.
Hakikatnya ini bukanlah kaedah syara’ tetapi kaedah komunis…!
Ini karena tidaklah paham komunis diwujudkan melainkan untuk menjaga maslahat orang-orang miskin dengan menentang orang kaya. Berbeda dengan syara’, ia menjaga maslahat kedua-belah pihak, sama ada orang miskin atau kaya.”


Diterjemahkan dari sebagian Rekaman audio Syaikh al-Albani, Kaset Silsilah Huda wan Nuur, no. 362 – menit 16:30-18:16 dan 24:35-26:00.
Link: http://www.alalbany.ws/alalbany/huda_noor_audio/362.rm

^Mungkin, yang mendahului Qaradhawi adalah Sayyid Quthub, yang mana dia membawa paham Marxisme karena dia adalah mantan wartawan beraliran tersebut, sebelum bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Allahu a’lam.

[Sejarah Khawarij] – Sayyid Quthb

 darussalam_sejarah-hitam-khawarij_sayyid-quthb-fbl

Riwayat Hidup Sayyid Quthb

Nama lengkapnya Sayyid Quthb bin Ibrahim. Lahir di Musyah, Propinsi Asyuth, pesisir Mesir, pada tanggal 9 Oktober 1906 M. (1326 H.) Anak kedua dari empat bersaudara (lainnya: Aminah Quthb, Hamidah Quthb, Muhammad Quthb).

Pendidikan awalnya di Madrasah Ibtidaiyah di desanya tahun 1912 dan lulus tahun 1918. Revolusi tahun 1919 di negerinya membuat Sayyid Quthb berhenti dari sekolah selama dua tahun. Belum genap berusia 10 tahun, Sayyid Quthb telah hafal Al-Qur`an.

Masuk ke Madrasah Muallimin Al-Awaliyah tahun 1922. Melanjutkan ke Sekolah Persiapan Darul-Ulum tahun 1925.

Setelah itu, dia melanjutkan ke Universitas Darul-Ulum (Kairo) tahun 1929 dan lulus tahun 1933 dengan gelar Lisence di bidang sastra. Selanjutnya bekerja sebagai pengawas pada Departemen Pendidikan.

Tahun 1949, dia mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat untuk memperdalam pengetahuannya di bidang pendidikan, di Wilson’s Teacher’s College Washington dan Stanford University California.

Lanjutkan membaca [Sejarah Khawarij] – Sayyid Quthb